Aku membuatnya kembali sketsa rasa sedih itu untukmu, dengan gelak dan mimik yang lucu. Dan Anda pun menangis, sia-sia kukatakan dia untuk menunggu petang, agar kita lebih pantas terluka oleh waktu. Mengapa pula kau ikhtisarkan kesedihan di halaman buku itu? katamu. Bukan, ini peta menuju masa yang ceria, hapuslah pagar dan pintu-pintu, putarlah arah utara-selatan semaumu. Biarkan kamarmu selapang cita-cita, pepohonan tumbuh di sana, burung-burung bersarang di mana-mana, rerumputan meninggikan tempat kelinci berlarian ke sana-kemari.Demikianlah sejarah memandu kita dengan selembar sketsa yang selalu berubah gambarnya. Mengapa ada kedai bakso yang ramai di situ? Aku melukisnya sebagai toko buku kecil bertingkat dua yang lengkap koleksinya. Tak ada lagikah jalan bergelombang itu? Semuanya halus-mulus seperti kisahmu tentang sebuah kota khayal di benua sana. Jadi. Sejarah seperti buku logika yang koyak halaman belakang saat Anda menulis surat cinta. (“ALBUM LAMA: TUBAGUS ISMAIL”)
Kiblat Buku Utama, 2019; 14,5 x 21 cm; 60 hal; ISBN 978-623-7295-19-8